Minggu, 18 Maret 2012

CERITA KERAJAAN SIMPANG TL.MELANO


CERITA KERAJAAN SIMPANG

Simpang Matan Masuk dalam Amukti Palapa: Menelusuri Keberadaan Istana Kerajaan di Kalbar (11)

Pengaruh Kerajaan Majapahit sangat luas. Dalam sumpah Mahapatih Gajahmada, Kalimantan masuk dalam area ketiga pola pertahanan. Mpu Prapanca menjabarkannya dalam Kitab Negara Kertagama.
Kerajaan Simpang terletak tidak jauh dari Kerajaan Matan. Jika mudik menggunakan kendaraan air, hanya diperlukan waktu setengah hari perjalanan untuk mencapai daerah Matan. Karena hubungan emosional dan kedekatannya dengan Matan, maka Kerajaan Simpang mencantumkan nama Matan sehingga dikenal dengan Kerajaan Simpang Matan.
Nama Kerajaan Simpang dipengaruhi letak kerajaan yang berada di cabang persimpangan dua sungai, yakni Sungai Matan dengan Sungai Pagu di Lubuk Batu.
Kerajaan Simpang merupakan salah satu kerajaan yang terkenal di Nusantara sejak zaman Majapahit. Dalam Negara Kertagama, Mpu Prapanca menyebut pembagian Nusantara Majapahit atas 8 wilayah. Kalimantan masuk dalam Daerah III, Len tekang nusa Tanjungnegara ri Kapuhas), Kadang mwang i Landak Lenri Samedang (Simpang), ri Malano maka pramuka ta ri Tanjung puri.
Kerajaan di Kalimantan Barat yang termasuk dalam wilayah Majapahit adalah Tanjungnegara. Wilayahnya mencakup Tanjungpura, Kapuhas, Kandawangan, Landak, Simpang, dan Melano.
Mpu Prapanca dalam Negarakartagama menulis, pada masa Kertanagara dari Singosari dengan Maha Patih Aragani, merencanakan sistem pertahanan yang kuat. Hal itu dilakukan untuk menghadapi politik ekspansi Khu Bilai Khan.
Sistem pertahanan itu diwujudkan dengan membentuk strategi pertahanan Nusantara. Caranya, dengan memperluas daerah pengaruhnya atas daerah-daerah Kerajaan Pahang, Gorong, Nusa Pemida (Bali dan Lombok), dan Bakula Pura (Tanjungpura). Selain itu, dia juga menempatkan prajurit Singosari di sekitar Riau dan Jambi.
Mpu Prapanca dalam Negarakartagama mengenai Sumpah Nusantara Patih Mangkubumi Gajah Mada menyatakan antara lain, “Lamun huwus kalah Nusantara, isun amukti palapa, lamun kalah ring Gurun, ring Seran, ring Tanjungpura, ring Maru, ring Pahang, Dompo, ring Bali, sing Sunda, Palembang, Tumasik, sasana isun amukti palapa.” Pernyataan ini berkaitan erat dengan sistem pertahanan dengan daerah-daerah pertahanan yang mencakup sejumlah kerajaan di Tanjungpura, Jawa, Lombok, dan Bali.
Mpu Prapanca juga menyebutkan pembagian Nusantara Majapahit atas 8 wilayah. Kalimantan masuk daerah III. “Luwas lawan Samudra mwang I lanuri Batan lampung mwang I Barus Yekahhinyang watak bhumi Malaya setanah kapwamateh anut Len tekang nusa Tanjungnegara ri Kapuhas lawan ri katingan Sampit mwang Kuta lingga mwang I Lawai. Kadang danganI Landa Lenri Samedang (Simpang) Tirem tan kasah ri sedu Buruneng ri Tabalung ri Tanjung Kote Lawan ri Malano maka pramuka ta ri Tanjung puri.”

Gusti Asma Raja Pertama Simpang Matan: Menelusuri Keberadaan Istana Kerajaan di Kalbar (12)

Keturunan pertama dari Raja Simpang menjadi awal berkembangnya Kerajaan Tayan dan Landak. Pada fase awal terjalin persahabatan dengan Belanda, bersama-sama melawan Bajak Laut.
Raja pertama Kerajaan Simpang Matan dijabat Gusti Asma bergelar Sultan Muhammad Jamaluddin. Gusti Asma memerintah dari tahun 1762 hingga 1814 Masehi.
Gusti Asma merupakan anak Sultan Ahmad Kamaluddin (Raja Matan). Dialah yang kemudian mengalihkan kekuasaannya dari Matan ke Simpang, sehingga Dinasti Kerajaan Matan berakhir.
Raja pertama Kerajaan Simpang Matan ini mempunyai empat orang anak antara lain Gusti Mahmud bergelar Panembahan Anom Suryaningrat, Gusti Asfar bergelar Pangeran Adipati, Gusti Jamiril, dan Utin Upih.
Gusti Asfar atau Pangeran Adipati menikah di Landak dan melahirkan Gusti Arif yang menurunkan keturunan Raja Landak. Ia juga kawin lagi di Tayan dan melahirkan Gusti Hasan yang menurunkan keturunan Raja Tayan.
Pada masa pemerintahan Gusti Asma, Belanda sudah mulai masuk ke Kalimantan. Ajidan (William Adrian Palm) wakil Belanda (VOC) di Betawi datang ke Pontianak hendak meminjam tanah untuk mendirikan kantor dagangnya. Melalui Syarif Abdurahman mengirim surat kepada Sultan Simpang-Matan memberitahukan maksud tersebut.
Dalam balasan suratnya, Sultan Muhammad Jamaluddin meminjamkan tanah seluas 1000 m persegi dengan sewa per bulannya sebesar ƒ250 (uang waktu itu). Penyewaan disertai ketentuan, apabila Ajidan (Adrian) pulang ke Belanda maka tanah itu harus dikembalikan kepada Kerajaan Simpang.
Kemudian Ajidan (Adrian) diantar Syarif Kasim menghadap Sultan Muhammad Jamaluddin di Simpang-Matan. Tahun 1779 Kantor Dagang VOC didirikan di Pontianak.
Sebelumnya, pada tahun 1771 Syarif Abdurachman Alqadrie mendirikan pemukiman di Pontianak setelah mendapat restu dari Sultan Jamaluddin. Tahun 1778 menyatakan dirinya sebagai Sultan Kerajaan Pontianak.
Ajidan (Adrian) digantikan oleh Residen Suhar (Walter Markus Stuart). Melalui Residen Suhar (Stuart), Belanda menawarkan persahabatan dengan Sultan Simpang. Dia menghadap Sultan Muhammad Jamaluddin menyampaikan perintah dari Raja Belanda dan Gubernur Jenderal VOC di Betawi (Renier de Klerk).
Kata Rasiden Suhar kepada Sultan “Raja, adapun saya datang ini menghadap Raja, membawa perintah dari Raja saya yaitu Raja Belanda serta Jenderal VOC di Betawi hendak bersahabat kepada Raja di sini” Maka dijawab Sultan “boleh bangsa engkau bersahabat dengan aku tetapi jika dapat bangsa engkau orang Belanda memaklumkan musuh di laut itu”
Bertanya Residen Suhar “musuh apa Raja, di laut itu?’ Di jawab Sultan ‘Adapun musuh di laut itu bangsa Lanun, bangsa bajak namanya. Jika engkau bangsa Belanda dapat memaklumkan, menangkapnya, mengamankan perairan pesisir pantai Simpang dan Selat Karimata dari gangguan Lanun, bajak laut itu’.
Salah satu sebab mengapa Sultan Muhammad Zainuddin memindahkan pusat pemerintahannya dari Sukadana ke Matan adalah serangan dan gangguan lanun. Bahkan ketika pindah ke Matan pun Lanun pernah menyerang sampai masuk jauh ke Sungai Melano.

Kerajaan Simpang Ditaklukkan Tipu Muslihat VOC: Menelusuri Keberadaan Istana Kerajaan di Kalbar (13)

Kedatangan utusan raja Belanda, Residen Suhar menghadap Sultan Kerajaan Simpang Matan untuk bekerjasama ternyata hanya langkah awal penjajah itu untuk menguasai seluruh kerajaan di Kalbar.
Kedoknya memang seperti itu hampir diterapkan ke semua kerajaan di nusantara. Waktu awal kedatangannya ke Kerajaan Simpang, Residen Suhar mengaku membawa perintah dari Raja Belanda serta Jenderal VOC (Vereenigde Oost indische Compagnie/perserikatan perusahaan Belanda yang memonopoli aktivitas perdagangan) di Betawi hendak bersahabat dengan Raja di Simpang. Salah satu yang ingin mereka lakukan adalah membuka kantor dagang di Kalbar, yakni di Pontianak.
Kemudian setelah Residen Suhar pulang melaporkan hasil pertemuannya dengan Sultan Simpang kepada Jenderal di Betawi, dia datang kembali membawa perintah lagi dari Raja Belanda dan Jenderal di Betawi. Perintah Raja Belanda dan Jenderal Betawi itu adalah menawarkan jasanya untuk menolong Sultan Simpang dalam menjalankan pemerintahan.
Banyak cara yang mereka gunakan untuk meyakinkan Sultan Simpang. Salah satunya, alasan terlalu luasnya wilayah kerajaan, sehingga dengan bantuan itu Sultan tinggal menerima keputusan saja.
Tawaran itu diterima Sultan dengan ketentuan harus menurut pemerintah Sultan dan tidak boleh berkuasa sendiri. Percaya dengan janji dan tipu muslihat persahabatan, Sultan mengirim sepucuk surat kepada Raja Belanda dan mengirimkan “Intan Sejima” yang diserahkan kepada Residen Suhar. Jenderal di Betawipun pergi ke negeri Belanda membawa surat serta Intan Sejima itu kepada Raja Belanda Willem.
Setelah tiga bulan kemudian Residen Suhar membawa balasannya berupa uang harga Intan itu dan diserahkan kepada Sultan. Pada zaman Sultan Muhammad Jamaluddin Belanda belum menguasai Kerajaan Simpang baru dalam batas perjanjian-perjanjian saja.
Belanda mulai memperlihatkan taringnya pada masa kepemerintahan Gusti Mahmud (Panembahan Anom Suriyaningrat) 1814 – 1829. Gusti Mahmud adalah Raja pertama yang menggunakan gelar Panembahan karena gelar Sultan tidak diperbolehkan oleh Belanda untuk dipakai lagi “te benoemen inlandschen vosrt, onder den title van panembahan” (J.P.J.Barth 1879:17).
Di awal pemerintahan Gusti Mahmud, Belanda belum menguasai sepenuhnya kerajaan Simpang. Masih terbatas dalam pelaksanaan perjanjian-perjanjian di masa Sultan Muhammad Jamaluddin, yakni berupa perjanjian persahabatan, pengamanan perairan pesisir pantai dan Selat Karimata, serta bantuan dalam pengelolaan pemerintahan.
Pada zaman Pangeran Anom Suryaningrat ini telah terjadi perjanjian antara Kerajaan Simpang dan Kerajaan Matan (Kayong) dengan Belanda oleh Komisaris Tobias yang ditandatangani tanggal 14 Juni 1823 di Simpang. Perjanjian diperbaharui lagi tahun 1837 dan 1845.
Bermula penguasaan Kerajaan Simpang ini oleh Belanda, ditandai dengan penggantian residen dari Residen Suhar digantikan oleh Residen Litter. Dia menghadap Gusti Mahmud diperintahkan Jenderal di Betawi untuk meminta tanah di Sukadana dan Karimata.
Berkata Gusti Mahmud bahwa tanah di Sukadana dan Karimata tidak boleh diminta. Boleh dipinjam selama 4 turunan, tetapi harus dibayar kerugiannya (sewa) setahun ƒ4500.
Setelah mendapat pinjaman itu, Belanda berjanji di Sukadana dan Karimata hanya untuk mendirikan kantor (loji) sebagai pusat pengendalian pemberantasan lanun/bajak laut. Namun ternyata yang dibangunnya tangsi-tangsi dan penjara untuk menempatkan serdadunya sebagai basis untuk menguasai dan pengendalian daerah jajahannya.

Ingkar Janji Berujung Peperangan: Menelusuri Keberadaan Istana Kerajaan di Kalbar (14)

Setelah mendapat pinjaman tanah dari Kerajaan Simpang, janji mendirikan kantor (loji) tak terwujud. Serdadu dan tangsi malah ditempatkan untuk memerangi rakyat Simpang. Kenyataannya, Belanda tidak membangun loji yang awalnya diperuntukkan memberantas lanun (bajak laut). Justru tangsi-tangsi dan penjara untuk menempatkan serdadunya yang dibangun dengan tujuan sebagai basis menguasai dan pengendalian daerah jajahan.
Dari tangsi inilah Belanda memulai usaha kudeta. Mereka memerangi perlawanan rakyat Kerajaan Simpang di antaranya terjadi dalam perang Belangkait dan perang Tumbang Titi di hulu Ketapang. Belanda kemudian menggandeng Raja Akil dari Siak (Riau) yang juga sering disebut sebagai Mayor Akil. Ia pun diangkat sebagai Raja Sukadana. Nama Sukadana diganti dengan Niew Brussel (lidah Melayu menyebutnya Beresol).
Setelah Raja Akil diangkat menjadi Sultan dengan gelar Abdul Jalil Yang Dipertuan Syah tahun 1828, hanya Sukadana sajalah yang boleh menggunakan gelar Sultan. Sedangkan di daerah yang lainnya tidak boleh menggunakan nama Sultan, namun pemimpin daerah hanya bergelar Panembahan
Karena Raja Akil tidak disenangi dan disetujui oleh rakyat, maka timbullah perselisihan dengan Residen Belanda. Maka setelah meninggal tahun 1849, jabatan Sultan dihapuskan dan penggantinya hanya bergelar Panembahan. (Ansar Rachman, Bab V:8) Raja-raja Sukadana selanjutnya adalah Panembahan Tengku Besar Anom (1849-1878), Panembahan Tengku Putra (1878-1910), Panembahan Tengku Andut (1910-1939), Panembahan Tengku Abdul Hamid (1939-1940). Kemudian ada Panembahan (Dokoh) Muhammad Idris (1940-1943), Panembahan Tengku Muhammad (1943-1946), dan Panembahan Tengku Adam.
Tahun 1959 Kerajaan/Swapraja Sukadana dihapuskan. Sementara itu saudara dari Raja Akil diangkat menjadi penguasa di Kepulauan Karimata. Kepala Kepulauan Karimata, Tengku Ja`far yang berkuasa tahun 1833 kawin dengan cucu Batin Galang Setia Raja.
Setelah kematiannya, takhtanya dilanjutkan Kepala Kepulauan Karimata Tengku Bujang (1863), kemudian diteruskan Kepala Kepulauan Karimata Tengku Panglima Abdul Jalil (1866). Saat Kerajaan Simpang dikuasai oleh Belanda dan gelar Sultan pada Gusti Mahmud, Raja Simpang yang pertama juga diubah gelar Panembahan yakni Panembahan Anom Suriyaningrat. (Gusti Maerat 1956:64).
Penembahan ini mempunyai sembilan orang anak dari beberapa isterinya, yaitu Gusti Muhammad Roem bergelar Pangeran Kesumayuda, Gusti Madina bergelar Pangeran Nataningrat, Gusti Nalar bergelar Pangeran Suria. Kemudian Gusti Kupah bergelar Pangeran Putera, Gusti Pandang bergelar Pangeran Perdana Menteri, kawin di Kayong dengan Utin Ayu anak Sultan Anom. Serta Gusti Makrifat, Gusti Mengkaning, Gusti Agus tidak berpangkat\ bergelar, Utin Majelis (Gusti Maerat, 1956:64). Pada akhir pemerintahan Gusti Mahmud, Residen Belanda yang bernama Suhar digantikan Residen Litir.

Rajin Melakukan Pendekatan: Menelusuri Keberadaan Istana Kerajaan di Kalbar (15)

Belanda sangat getol mendekati dan membujuk para penguasa kerajaan. Tak terkecuali di awal pemerintahan Panembahan Suryaningrat. Apa maksud surat ‘kaukulhak?’
Setelah Gusti Muhammad wafat, pemerintahan Kerajaan Simpang dilanjutkan Gusti Muhammad Roem (Panembahan Anom Kesumaningrat) yang memerintah pada 829–1874. Gusti Muhammad Roem mempunyai anak 39 orang dari beberapa istrinya.
Tidak diketahui secara pasti siapa-siapa saja anak penambahan tersebut. Namun mereka antara lain, Gusti Panji setelah menjadi raja bergelar Panembahan Suryaningrat, Gusti Roem setelah menjadi raja bergelar Panembahan Gusti Roem, Gusti Rajuna bergelar Pangeran Mangku, Gusti Itam, Gusti Merkum, Gusti Kalayum, dan Gusti Mursal.
Gusti Panji menggantikan ayahnya menjadi raja dengan gelar Panembahan Suryaningrat. Ia memerintah Kerajaan Simpang selama kurang lebih 45 tahun, mulai 1874-1919.
Di awal pemerintahan Panembahan Suryaningrat, agaknya Belanda menaruh perhatian besar untuk kepentingannya. Belanda merasa perlu mengadakan pendekatan untuk mempererat persahabatan yang nantinya menerapkan perjanjian-perjanjian.
Dalam upaya itulah Belanda menganggap perlu menyampaikan berita kematian Willem III kepada Panembahan Suryaningrat dengan Surat Khusus dari Gubernur Jenderal Mr Cornelis Pijnacker Hordijn (1889-1893) tertanggal 14 Januari 1891. Isi berita, memberitahukan bahwa Raja Belanda Willem III telah meninggal pada tanggal 23 November 1890 dalam usia 73 tahun 9 bulan 4 hari.
Surat yang telah dialihaksarakan dari tulisan Arab Melayu ke Latin tertulis KAUKULHAK, di awal surat. Di dalamnya berisi kalaimat; Bahwa inilah warkatul ikhlas wa tahkatul ijjenas yang terbit daripada pusat kita yang termaktub didalamnya dengan beberapa tabik dan selamat. Yaitu dengan kita Seri Paduka Yang Dipertuan Besar Gubernur Jenderal atas tanah air Hindia Nederland Mr Cornelis Pijnacker Hordijn dari yang terhias dengan bintang besar Komanda Singa Nederland yang bersemayam diatas tahta kerajaan serta kemuliaan dan kebesaran di dalam Betawi.
Apalah kiranya diusulkan oleh Tuhan Seru Sekalian Alam ke hadapan Paduka Tuan Panembahan Suryaningrat yang beristirahat alhariri di dalam negeri Simpang. Mudah-mudahan dilanjutkan Allah seumur zaman di dalam sehat wal afiat.
Wabadu kemudian daripada itu maka adalah kita mengirimkan warkatullah ini kepada Paduka sahabat kita akan memaklumkan kabar dari negeri Nederland yang menjadikan dukacita yaitu Maha Baginda Raja Olanda yang Maha Mulia Wilhelm Yang Ketiga. 23 hari bulan November 1890 dengan takdir Tuhan Yang Maha Tinggi telah meninggal didalam umur 73 tahun 9 bulan 4 hari.
Sesudah gering beberapa lama ialah bagi kita dikasihani dan dicintai oleh segala masyarakat memegang pemerintahan dengan adil dan penuh kasih sayang kepada sekalian anak buah dan dengan bijaksana yang sekarang sangat berdukacita karena sebab kematiannya.
Bahwa karena Seri Paduka yang Dipertuan Puteri anakanda baginda itu yang tua yang bernama Wilhelmina Helena Maria yang sekarang jadi gantinya baginda. Bahwa pada umur 10 tahun, maka selama tuan puteri belum berakil baliq maka yang memerintah Kerajaan Belanda dan pejabat wakil raja yaitu Yang Dipertuan Permaisuri isteri baginda marhum Wilhelm yang ketiga yaitu Athalia Wilhelmina Theresia.
Oleh karena mangkat ….baginda dengan dukacita yang amat sangat besarnya. Termaktub di negeri Olanda pada 14 hari bulan Januari tahun 1891”

Perang Belangkait Usai Gagal Dibujuk: Menelusuri Keberadaan Istana Kerajaan di Kalbar (16)

Bujuk rayu tak mempan. Panembahan Gusti Panji tetap konsisten membela rakyat. Akibatnya pecah perang karena Belanda memaksa memungut blasting.
Gusti Panji mempunyai 21 orang anak, 13 orang anak laki-laki dan 8 orang anak perempuan. Anak-anak Gusti Panji itu antara lain Gusti Mansur (berpangkat Pangeran Ratu) yang melahirkan Gusti Kencana, Gusti Mahmud, Gusti Achyar, Utin Mina, Utin Tahara, dan Utin Karyasin.
Gusti Samba (berpangkat Pangeran Kesumayuda) yang melahirkan Gusti Kintil, Gusti Jamadin, Gusti Bandan, Gusti Usman, Utin Ranas, Utin Ubit, Utin Ucil, Utin Perak, dan Utin Ating.
Kemudian Gusti Ismail (berpangkat Pangeran Kesumayadi) yang melahirkan Gusti Nabat, Gusti Hamzah, Gusti Maskat, Utin Serkaya, dan Utin Bedarih.
Gusti Tamjid (berpangkat Pangeran Kesuma Anom) yang melahirkan Gusti Mahira (Maerat), Utin Sila, Utin Sinar Midi, Utin Mahrani, Utin Bugur, Utin Jematin, dan Utin Mahniaran.
Gusti Muhammad Kasim (berpangkat Pangeran Adi) yang melahirkan Gusti Jelma, Gusti Hidayat, Gusti Citil, Gusti Mekah, Gusti Abdulhamid, Gusti Man, Utin Selindit, Utin Ranik, Utin Kuna, Utin Sibar, Utin Fatimah, dan Utin Ayu. Selanjutnya, Gusti Mahdewa yang melahirkan Gusti Busri, Gusti Lanang, Gusti Baguk, Utin Sitimanya, dan Utin Unung. Gusti Masdar yang melahirkan Gusti Basuni, Gusti Abdulwahab, Gusti Arif, dan Utin Ayu. Ada juga Gusti Cerana, Gusti Muskan, Gusti Megat, Gusti Dahlan, Gusti Serban, dan Gusti Sendang.
Pada masa Panembahan Gusti Panji terjadi Perang Belangkait akibat adanya pertentangan dengan penjajahan Belanda. Perang ini bermula dari gagalnya Belanda membujuk Panembahan untuk menandatangani Kontrak Pendek (Korte Verklaring). Kemudian Panembahan ditangkap namun kapal yang penuh dengan tentara itu berjalan miring sebelah. Akhirnya kapal tersebut mendarat dekat sebatang pohon dungun yang besar. Pohon dungun itu disebut penduduk dengan “Dungun Kapal”.
Karena tidak berhasil membujuk dan menawan Panembahan, maka Belanda memaksakan sendiri isi Kontrak Pendek itu dengan memaksa rakyat agar membayar pajak (blasting). Pemaksaan inilah yang membangkitkan semangat rakyat untuk menentang penjajahan yang dipimpin oleh Patih Kampung Sepucuk bergelar Hulubalang I yang bernama Abdusamad dan terkenal dengan panggilan “Ki Anjang Samad” dengan semboyannya “Daripada membayar blasting dengan Belanda lebih baik mati”.
Panembahan Gusti Panji sendiri turun ke kampung-kampung membakar semangat rakyatnya untuk melawan penjajahan. Dalam keadaan yang sudah siap perang datanglah sepasukan suku Dayak dari hulu Tumbang Titi utusan dari Uti Usman (pemimpin perang Tumbang Titi di hulu Ketapang). Pasukan itu dipimpin Panglima Ropa dengan membawa serta Panglima Ida, Gani, Enteki, Etol, dan Panglima Gecok.
Dengan 20 panglima dan banyak prajurit, mereka menyerang Sukadana. Akan tetapi tangsi Sukadana telah kosong, jadi mereka melanjutkan menyerang Loji (Kantor Belanda) di Pulau Datok, namun kosong karena pasukan Belanda terkonsentrasi di Tumbang Titi untuk menghadapi Uti Usman. Beberapa hari kemudian, datanglah sepasukan Belanda dengan Kapal Bukat dipimpin Letnan Obos dan Tuan Sepak. Terjadilah pertempuran berseberangan sungai di Kampung Belangkait.
Kerajaan yang didirikan itu dimulai dari kuala Kandang Kerbau dan berpindah ke Sukadana, dari sukadana kemudian dilanjutkan oleh raja Akil dari Siak Indragiri, Kerajaan Tanjungpura tetap berjalan terus dambil berpindah lokasi. Akibat dari perkembangan keturunan, maka Kerajaan Tanjungpura terjadi perebutan kekuasaan yang dilakukan oleh kakak beradik putra Sultan Zainuddin, sehingga Kerajaan Tanjungpura dibagi. Putra mahkota yaitu Pangeran Ratu Agung diberikan wilayah utara dan membangun kota kerajaan baru yang bernama Kerajaan Simpang. Sedangkan Kerajaan Tanjungpura sendiri masih tetap berdiri dengan perubahan nama menjadi Kerajaan Matan yang diperintah oleh Panembahan Busrah dan memindahkan ibukota pemerintahan ke Kerta Mulia.

Kerajaan Simpang didirikan pertama kali oleh Panembahan Ratu Agung pada tahun 1735 dan secara otomatis sebagai raja pertama yang memerintah Kerajaan Simpang adalah Panembahan Ratu Agung. Beliau memerintah sampai dengan tahun 1824 dan pada masa pemerintahan Panembahan Ratu Agung, kerajaan selalu dalam keadaan damai dan aman. Dalam pertumbuhannya kerajaan-kerajaan yang didirikan itu juga mengalami pergantian nama menjadi Matan atau Sukadana tergantung kedudukan raja yang sedang berkuasa saat itu. Pada tahun 1828 Raja Matan yang bernama Sultan Muhammad Kamaluddin diusir oleh pemerintah Belanda karena dianggap melindungi para bajak laut. Sebagai gantinya maka pada tahun 1829 Belanda menetapkan Raja Akil dari Siak Indragiri bergelar Sultan Abdul Jalil Syah berkedudukan di Sukadana yang kemudian berubah nama menjadi Niuew Brusel.[16] Pada masa pemerintahan raja Akil wilayah kekuasaannya hanya terbatas di Sukadana sedangkan Matan dikuasai Pangeran Adimangkurat seorang menantu dari Sultan Matan yang lama dengan memakai gelar Panembahan Anom Kesumanegara. Panembahan itu tidak mengakui pemerintahan Raja Akil. Pada tanggal 24 April1837 pemerintah Belanda memutuskan untuk membuat kontark baru dengan Raja Akil. Dalam kontrak itu dinyatakan bahwa Nieuw Brusel terdiri atas Sukadana dan Simpang sedangkan Matan merupakan kerajaan yang berdiri sendiri. Pada tanggal 21 Juni 1843 Raja Akil meningal dunia. Oleh karena itu Panembahan Matan dan Simpang menuntut hak-hak mereka, sehingga pada tanggal 1 September 1845 Nieuw Brusel dibubarkan. Kemudian Kerajaan Matan, Sukadana, Simpang berada di bawah perintah seorang gezaghebber Belanda dan kedudukan ketiga kerajaan itu terpisah dan membuat kontrak sendiri-sendiri dengan Belanda. (Arsip Nasional Republik Indonesia, 1973 : CI-CII)

Kerajaan Simpang setelah Nieuw Brussel dihapus pada tanggal 1 September 1845, maka Simpang berdiri menjadi kerajaan sendiri dan membuat kontrak sendiri dengan pemerintah Belanda. Kontrak itu dibuat pada tanggal 30 September 1845 yang mengakui sebagai Raja Simpang adalah Gusti Asma dan bergelar Panembahan Kesumaningrat. Pada masa kerajaan dibawah Gusti Panji yang bergelar penembahan Gusti Panji. Kerajaan Simpang Tua didirikan di Kampung Mungguk Jering Kecamatan Simang Hilir. Mengenai kapan didirikan tidak ada sumber yang pasti namun dari informasi bahwa kerajaan Simpang Tua adalah penembahan Gusti Panji.

Kemudian penembahan Gusti Panji diturunkan dari jabatannya sebagai Raja Simpang Tua dan digantikan oleh adiknya Gusti Muhammad Rum menjadi raja mengantikan Panembahan Gusti Panji yang memerintah dari tahun 1917 sampai dengan tahun 1942. Pada masa pemerintahan Panembahan Gusti Muhammad Rum inilah pusat pemerintahan Kerajaan Simpang dipindahkan di Desa Teluk Melano Kecamatan Simpang Hilir. Panembahan Gusti Muhammad Rum berakhir setelah dibawa ke Mandor oleh pemerintah Jepang. Sebagai penganti raja maka diangkatlah adik Gusti Muhammad Rum yang bernama Gusti Mesir untuk memangku jabatan sebagai raja di Kerajaan Simpang Hilir dengan gelar Panembahan dengan masa pemerintahan dari tahun 1942 sampai 1943 . tanggal 23 April 1943 semua raja-raja di Kalimantan Barat ditangkap dan ditahan di markas keibitai. Raja-raja yang ditangkap sejak tanggal 23 April 1943 semua telah dibunuh dan dimakamkan di suatu tempat yang tempat itu dirahasiakan sampai sekarang. Termasuk salah satu raja yang ditangkap dan dibunuh oleh Jepang adalah panembahan Gusti Mesir (Rivai, 1991:57).


PENINGGALAN KERAJAAN SIMPANG

- Wayang Kulit
Wayang kulit menurut menurut salah seorang “dukun” yang bernama Dalang Kunang bahwa wayang kulit pertama kali dikenal masyarakat Simpang sejak berdirinya kerajaan Simpang dan dikatakan bahwa wayang kulit itu berasal dari pulau jawa yang dibawa oleh salah seorang Putera Raja Majapahit yaitu dari perkawinan antara Damarwulan dan Puteri Kencana Ungu yang bernama Brawijaya bersama dengan patihnya Gelagendir (Patih Logender) dan Baggi pada waktu itu merantau ke Kalimantan. Di Kerajaan Simpang biasanya cerita yang dimainkan oleh dalang dalam perkawinan dan keselamatan : Tunggul Ulung, serita dari Kediri seperti Galuh Candra Kirana/Raden Panji. Gandang Purwangi, Buah Teberanang, Kijang Long dan sebagainya (Moelia,1967:11-12). Jenis wayang kulit itu kurang lebih 80 macam kebayakan bentunya masih asli dari tanah jawa.

- Makam-Makam Raja Simpang
Kerajaan Simpang mengalami beberapa kali perpindahan sehinga letak makam para raja ada yang di Kerajaan Simpang Hilir Tua dan Kerajaan di Simpang Hilir berada di Telok Melano.

- Makam Panembahan Gusti Panji
Makam di Kampung Munggu Jering Kecamatan Simpang Hilir, jalur yang digunakan menyelusuri Sungai Simpang dengan memakan waktu satu setengah jam, setelah itu berjalan sekitar 50 meter dan sampailah kepemakaman.

- Makam Panembahan Gusti Makhmud
Makam yang terletak tidak jauh dari terminal Telok Melano lebih kurang 50 meter

- Keraton Simpang Hilir
Keraton SimpangHilir didirikan pada tahun 1921 dan berfungsi sebagai tempat tinggal raja beserta keluarga serta tempat berlangsungnya pertemuan antara raja dengan para pembesar kerajaan namun dalam perkembangannya. Keraton Simpang Hilir mengalami perubahan karena tidak lagi sebagai tempat tinggal raja tetapi berubah fungsi menjadi Kantor Pos.

- Meriam Bujang Koreng
Meriam yang merupakan hadiah dari Raja Bathin Satia Pahlawan dari Kerajan Karimata yang diberikan kepada Raja Simpang yaitu Panembahan Gusti Roem sewaktu akan meninggalkan Karimata dan menuju ke kota pusat Kerajaan Simpang.
Panembahan Gusti Mesir Raja Kerajaan Simpang ke-6 dua kali ditangkap Jepang. Penangkapan pertama pada tanggal 23 April 1943 bersamaan dengan penangkapan raja-raja seluruh Kalbar dari 12 kerajaan yang semula atas undangan Jepang untuk menghadiri pertemuan di Kota Pontianak. Ternyata kesemuanya dibunuh Jepang, kecuali Panembahan Gusti Mesir. Beliau dibebaskan oleh Penguasa Jepang di Sukadana Bunkenkanrikan.
Setelah Beliau kembali ke Teluk Melano oleh Majelis Kerajaan diadakan musyawarah untuk mencari jalan menyelamatkan Panembahan yang dipimpin oleh Punggawa Uti Hamzah. Namun dalam pertemuan itu semua alternative dengan halus ditolak oleh Panembahan, karena semua alternative itu dinilai tidak rasional. Apalagi untuk mengangkat senjata, berperang melawan Jepang.
Panembahan menyatakan, “Biarlah aku jadi korban—jangan rakyat, karena kita tidak mempunyai kekuatan apapun.”
Pembebasan Panembahan ini sehubungan dengan berita pelarian mata-mata Belanda Kepala Staatwach yang lari ke Telok Melano, karena ada keluarganya di sana. Datang dari Ketapang dan Sukadana kampetai-kampetai Jepang dan memerintahkan rakyat untuk menangkapnya dikoordinatori oleh Kerajaan. Akhirnya pelarian itu tertangkap di Rantau Panjang.
Pada awal Januari 1944 datanglah Motor Cabang dengan dipimpin oleh dua orang kampetai langsung ke Istana menangkap Panembahan Gusti Mesir dan Beliau memang sudah siap kapan saja ditangkap karena sejak penangkapan pertama Beliau tidur pun berpakaian lengkap, menunggu kedatangan Kampetai Jepang. Ditangkaplah seluruh jajaran kerajaan: Panembahan Tua Gusti Rum (Raja ke-5) ayah Gusti Mesir. Gusti Umar mantri polisi (abang Gusti Mesir). Gusti Tawi mantra tani (adik Gusti Mesir). Tengku Ajong (ipar Gusti Mesir). Dolah sopir kerajaan. Raden Asfar (kemenakan Gusti Mesir) serta Bujang Kerepek yang sehari-hari bertugas sebagai pembantu.
Saat penangkapan istri Beliau sedang hamil tua, dan 10 hari kemudian lahirlah anak Beliau yang bungsu yang tidak sempat melihat wajah ayahnya. (disarikan dari surat Drs H Gusti Mulia, putra Gusti Mesir)

Dua Panembahan Kembar di Kerajaan Simpang (17)

Meski sempat ditumpas, namun perlawanan tak padam. Para kesatria malah banyak yang meninggal dalam penjara di Sukadana. Politik Belanda mengakibatkan pemerintahan ganda.
Perang Belangkait telah merenggut banyak korban. Ki Anjang Samad terbunuh di hari pertama peperangan melawan kezaliman Belanda tersebut. Di hari kedua, Patih Kembereh juga turut terbunuh disusul tertangkapnya lima orang panglima yang kemudian ditawan di Sukadana.
Panglima lainnya tetap melanjutkan perang gerilya. Empat dari lima panglima itu meninggal dalam penjara Sukadana. Tinggal Panglima Enteki yang beberapa tahun kemudian dibebaskan (Gusti Mulia, 1967:3).
Pada masa Panembahan Gusti Roem di Kerajaan Simpang Teluk Melano, ada yang bergerak meneruskan perang Belangkait dengan tidak secara fisik berhadapan langsung dengan penjajah Belanda. Mereka melanjutkan perang dengan cara sosial dan politik seperti yang dilakukan oleh Gusti Hamzah.
Gusti Hamzah adalah anak Gusti Ismail, cucu dari Gusti Panji. Ia meneruskan cita-cita perjuangan dengan teman-temannya dari daerah lain yang aktif dalam organisasi Syarikat Islam yang dibekukan Belanda pada tahun 1919. Kemudian dengan dipelopori oleh Gusti Sulung Lelanang mendirikan Syarikat Rakyat (1923).
Pada tahun 1926, atas perintah Gubernur Jenderal D Fock mengadakan penangkapan dan pembunuhan terhadap anggota organisasi yang dianggap berbahaya, termasuk Gusti Hamzah yang kemudian dijebloskan ke penjara. Ia diasingkan ke Boven Digul. Gusti Hamzah baru dibebaskan 11 tahun kemudian dan dipulangkan pada tahun 1938, dan ditahan di penjara Sukadana (Ansar Rachman:291).
Gusti Roem mempunyai delapan orang anak perempuan dan enam anak laki-laki dari enam orang istrinya, yaitu Gusti Umar (Menteri Polisi), Gusti Mesir (Panembahan Simpang), Gusti Tawi (Menteri Tani). Ketiganya ini menjadi korban fasisme Jepang pada tahun 1943.
Anaknya yang lain, yaitu Gusti Bujang, Gusti Ja’far, Gusti Abdurrahman (Monel), Utin Baiduri (Otek) yang kawin dengan Tengku Idris/Tengku Betong Panembahan Sukadana korban fasisme Jepang tahun 1943.
Kemudian Utin Aminah (Are) yang kawin dengan Tengku Ismail, Utin Syaidah (Ayu Moceh) yang kawin dengan Jidi, Utin Halijah (Ijon). Utin Jamilah (Entol) yang kawin dengan Tengku Muhtar, Utin Epot yang kawin Raden Saleh, Utin Temah yang kawin dengan Tengku Ajong jadi korban fasisme Jepang tahun 1943, dan Utin Ayu yang kawin dengan Daeng Dolek.
Gusti Roem diangkat Belanda menjadi Panembahan Simpang sehubungan Perang Belangkait yang berakhir pada tahun 1913. Semula Gusti Roem menolak untuk diangkat menjadi Panembahan Simpang.
Namun Belanda mengancam akan menyerahkan Kerajaan Simpang kepada keturunan Raja Akil di Sukadana yang berarti lenyaplah keturunan raja-raja Tanjungpura, Sukadana, Matan, dan Simpang, dan berarti pula wilayah kerajaan akan menjadi kekuasaan keturunan Raja Akil.
Dengan rasa berat, Gusti Roem menyampaikan hal ini kepada Panembahan Gusti Panji dengan mengutus Kiyai Na’im dari Pulau Kumbang. Sejak diangkatnya Gusti Roem, maka terjadilah dua Panembahan kembar di Kerajaan Simpang dengan membiarkan Gusti Panji mengakhiri kekuasaannya sampai ia meninggal dunia pada tahun 1920 di Istana Kerajaan Simpang, dan dimakamkan di pemakaman Raja-raja di Simpang. (bersambung)



Menggaet Sukadana Melalui Pernikahan (18)

Perpecahan antara Kerajaan Simpang dan Sukadana akibat politik penjajah, dirajut kembali. Kemakmuran terhenti karena Jepang mulai melakukan invasi.
Setelah Panembahan Gusti Panji meninggal, Panembahan Gusti Roem membangun kedudukan di Telok Melano sebagai basis kerajaan. Lokasi tersebut sudah terkenal sejak masa Singosari dan Majapahit dalam Babad Negarakartagama Mpu Prapanca.
Gusti Roem menandatangani Korte Verklaring yang berarti menyerahkan penyelenggaraan pemerintahan kepada Belanda. Pada Cap Kerajaan tercantum kata “het nederlandsch indisch gouvernement aan dea panembahan van simpang”
Dalam usahanya mengikat kembali wilayah Kerajaan yang lepas dari kekuasaannya yang dahulu, Panembahan Gusti Roem memberi pinjaman kepada Belanda dua daerah, yaitu Sukadana dan Karimata. Panembahan Gusti Roem menggunakan pendekatan politik perkawinan.
Beliau kawin dengan Tengku Sariah keturunan Raja Akil di Sukadana dan kawin dengan Tengku Sa’diyah dari Karimata keturunan Kepala Kepulauan Karimata Tengku Ja’far.
Puterinya, Utin Baiduri dinikahkan dengan Tengku Idris (Tengku Betung) Panembahan Sukadana yang kemudian menjadi korban fasisme Jepang. Selain itu, Gusti Roem juga mengawinkan Utin Aminah dengan Tengku Ismail dari Sukadana.
Dengan sistem perkawinan ini, terikat kembali dalam hubungan kekeluargaan wilayah yang pernah lepas dari Kerajaan Simpang. Namun hal ini tidak berlangsung lama, karena beberapa tahun kemudian beliau meninggal akibat kebiadaban Jepang yang menawannya pada 1942 dan meninggal pada 1943.
Takhta Kerajaan Simpang selanjutnya dipegang Gusti Mesir atau Panembahan Gusti Mesir. Penembahan Gusti mesir hanya menjabat selama selama dua tahun, yakni 1942–1944.
Gusti Mesir adalah putra Gusti Roem dari ratu yang bungsu. Pada masa Panembahan Gusti Mesir keadaan perekonomian mengalami masa yang cerah dengan sumber utama dari hasil hutan dan kebun, terutama karet.
Berakhirnya kemakmuran rakyat Simpang dimulai dengan datangnya Jepang pada tahun 1942. Rakyat mengalami penderitaan yang berat, kesulitan sandang dan pangan, sehingga rakyat makan ubi, sagu, dan berkain/celana goni dan berbaju kapuak (kulit kayu) ditambah dengan teror yang dilakukan Jepang dan kaki tangannya.
Pada peristiwa penangkapan raja-raja tanggal 23 Desember 1943 yang datang diundang Jepang untuk menghadiri suatu pertemuan di Pontianak, kesemuanya dibunuh Jepang. Hanya Gusti Mesir yang waktu itu dibebaskan atas bantuan Tuan Siama, Kepala Maskapai Durian Sebatang.
Ketika memenuhi undangan ke Pontianak itu, Gusti Mesir berangkat bersama Mas Raijin, iparnya yang selalu diikut sertakan sebagai pembantunya untuk mempersiapkan semua keperluan selama berpergian. Begitu dia dibebaskan, dimintanya pula iparnya Mas Raijin agar dibebaskan.
Namun sulit sekali untuk mencari Mas Raijin dari semua tawanan yang banyak. Pasalnya, semua tawanan kepalanya ditutupi dengan karung selipi, dan hanya dilobangi sekedar untuk dapat melihat saja.
Untunglah dia akhirnya dapat ditemukan. Ketika dalam barisan yang panjang, tawanan itu sedang berjalan, maka tampaklah seorang di antaranya yang berjalan pincang. Karena kondisi fisiknya itu membuat Mas Raijin selamat dari samurai Kempetai Jepang. (bersambung)

Gusti Mesir Rela Menjadi Tameng Rakyatnya (19)

Pascakeluar dari tawanan Jepang, sejumlah tokoh Kerajaan Simpang berkumpul. Kempetai Jepang kembali menangkap Raja Simpang ke-6.
Setelah beberapa hari Panembahan Gusti Mesir dan Mas Raijin dikeluarkan dari tahanan Jepang, semua penggawa, patih, demong, para kiyai serta kerabat kerajaan berkumpul untuk bermusyawarah di Istana Panembahan. Pertemuan yang dipimpin Penggawa Uti Hamzah itu untuk mencari jalan bagaimana menyelamatkan Panembahan, jika sewaktu-waktu Jepang kembali menangkap mereka.
Ada yang menyarankan agar melawan Jepang. Ada yang mengusulkan supaya diisukan meninggal karena ditangkap buaya, sebab waktu itu buaya sedang mengganas sehingga banyak penduduk menjadi korban.
Ada pula yang mengusulkan agar lari bersembunyi ke pedalaman. Namun semua alternatif itu dengan halus ditolak Panembahan karena semuanya dinilai tidak rasional dan bakal mengorbankan rakyat sendiri. Beliau menyatakan “Biarlah aku yang menjadi korban, asal jangan rakyat”.
Dalam keadaan seperti itu, ada berita tentang pelarian tawanan Jepang dari Pontianak, yakni Kepala Staatwach (mata-mata) Belanda. Maka, datanglah Jepang dari Ketapang dan Sukadana mencarinya dan penduduk diminta membantu penangkapan pelarian tersebut.
Akhirnya pelarian itu tertangkap di Rantau Panjang dan langsung dibawa ke Ketapang. Selang beberapa hari setelah ditangkapnya staatwach itu, datanglah ‘motor cabang’ dengan dua orang Kempetai yang ternyata bertugas untuk membawa menangkap Panembahan Gusti Mesir.
Kempetai itu juga membawa Gusti Tawi. Dari Telok Melano, mereka terus ke hulu Sungai Mata–Mata mengambil Gusti Roem (Panembahan Tua), terus mudik lagi ke Sungai Pinang mengambil Gusti Umar.
Tak hanya mereka berempat, kempetai Jepang juga membawa sejumlah tawanan lainnya. Mereka antara lain, supir Gusti Roem yang bernama Dolah, Bujang Kerepek, dan Tengku Ajung (menantu Gusti Roem).
Utin Tahara (istri dari Gusti Mesir semasa hidup tahun 1950-an) setelah Gusti Mesir kembali dari Pontianak pada waktu penangkapan pertama itu, dia berkata bahwa Jepang nanti pasti akan datang lagi untuk menangkapnya. Itulah sebabnya beliau pada waktu itu selalu dalam keadaan siap dan tidak melepaskan pakaian kebesarannya, siang maupun malam, bahkan tidurpun beliau masih mengenakan sepatu.
Seminggu kemudian setelah Panembahan Gusti Mesir ditangkap untuk kedua kalinya, kempetai-kempetai Jepang itu datang lagi ke istana dan langsung memeriksa semua bagian-bagian rumah, setiap kamar, lorong, bahkan kamar mandi.
Tetapi mereka tidak menemukan apa-apa dan merekapun tidak menyatakan apapun. Beredar isu, Jepang mencari dua orang tawanan yang hilang. Mereka adalah Panembahan Gusti Mesir dan Panembahan Saunan.
Semasa hidupnya, Gusti Mesir memiliki lima orang anak yang kesemuanya laki-laki. Anak-anak Gusti Mesir itu adalah Gusti Ibrahim, Gusti Abdulmuthalib, Gusti Muhammad Mulia, Gusti Mahmud, dan Gusti Mastur. (bersambung)




 Kerajaan Tanjungpura

Kerajaan Tanjungpura merupakan kerajaan tertua di Kalimantan Barat. Kerajaan yang terletak di Kabupaten Ketapang ini pada abad ke-14 menjadi bukti bahwa peradaban negeri Tanah Kayong sudah cukup maju pada masa lampau. Tanjungpura pernah menjadi provinsi Kerajaan Singhasari sebagai Bakulapura. Nama bakula berasal dari bahasa Sanskerta yang berarti tumbuhan tanjung (Mimusops elengi), sehingga setelah dimelayukan menjadi Tanjungpura. Wilayah kekuasaan Tanjungpura membentang dari Tanjung Dato (Sambas) sampai Tanjung Puting, yaitu mencakup sebagian wilayah propinsi Kalimantan Barat dan sebagian wilayah Kalimantan Tengah bagian barat sekarang.
Kemudian Tanjungpura menjadi sebuah propinsi Majapahit, kemungkinan nama Tanjungpura sudah menjadi umum untuk sebutan pulau Kalimantan. Selepas mangkatnya Gajah Mada kemungkinan ibukota pulau Tanjungpura berada di Kalimantan Selatan sebagai pangkalan yang lebih strategis untuk menguasai wilayah lebih luas lagi. Menurut Hikayat Banjar, kerajaan di Kalimantan Selatan saat itu yaitu Negara Dipa sudah memiliki pengaruh luas membentang dari Kerajaan Sambas hingga Karasikan (Kerajaan Tidung) di perbatasan Kalimantan Timur-Sabah dengan rajanya seorang dara ketika ia mulai memerintah yaitu Putri Junjung Buih/Raden Galuh Ciptasari/Putri Ratna Janggala-Kadiri. Putri Junjung Buih digantikan oleh puteranya yang urutan ke-3 bernama Pangeran Aria Dewangsa . Raden Sekar Sungsang putera Pangeran Aria Dewangsa memindahkan ibukota ke hilir dengan nama Kerajaan Negara Daha. Menurut Tutur Candi (Hikayat Banjar versi II), ketika merantau ke Giri, Raden Sekar Sungsang mulai mengenal agama Islam dan menjadi besan Sunan Giri kemudian ia mendapat gelar Panji Agung Rama Nata. Menurut Pararaton, Bhre Tanjungpura adalah anak Bhre Tumapel II (abangnya Suhita). Bhre Tanjungpura bernama Manggalawardhani Dyah Suragharini yang berkuasa 1429-1464, dia menantu Bhre Tumapel III Kertawijaya. Kemudian dalam
Prasasti Trailokyapuri disebutkan Manggalawardhani Dyah Suragharini menjabat Bhre Daha VI (1464-1474). Di dalam mandala Majapahit, Ratu Majapahit merupakan prasada, sedangkan Mahapatih Gajahmada sebagai pranala, sedangkan Madura dan Tanjungpura sebagai ansa-nya.
B. Bagan Sislsilah Kerajaan



A. Perpindahan Ibu Kota Kerajaan
Ibukota Kerajaan Tanjungpura beberapa kali mengalami perpindahan dari satu tempat ke tempat lainnya. Beberapa penyebab Kerajaan Tanjungpura berpindah ibukota adalah terutama karena serangan dari kawanan perompak (bajak laut) atau dikenal sebagai Lanon. Konon, di masa itu sepak-terjang gerombolan Lanon sangat kejam dan meresahkan penduduk. Kerajaan Tanjungpura sering beralih pusat pemerintahan adalah demi mempertahankan diri karena sering mendapat serangan dari kerajaan lain. Kerap berpindah-pindahnya ibukota Kerajaan Tanjungpura dibuktikan dengan adanya situs sejarah yang ditemukan di bekas ibukota-ibukota kerajaan tersebut. Negeri Baru di Ketapang merupakan salah satu tempat yang pernah dijadikan pusat pemerintahan Kerajaan Tanjungpura. Dari Negeri Baru, ibukota Kerajaan Tanjungpura berpindah ke Sukadana. Pada masa pemerintahan Sultan Muhammad Zainuddin (1665–1724), pusat istana bergeser lagi, kali ini ditempatkan di daerah Sungai Matan (Ansar Rahman, tt:110).
Dari sinilah riwayat Kerajaan Matan dimulai. Seorang penulis Belanda menyebut wilayah itu sebagai Kerajaan Matan, kendati sesungguhnya nama kerajaan tersebut pada waktu itu masih bernama Kerajaan Tanjungpura. Pusat pemerintahan kerajaan ini kemudian berpindah lagi yakni pada 1637 di wilayah Indra Laya. Indra Laya adalah nama dari suatu tempat di tepian Sungai Puye, anak Sungai Pawan. Kerajaan Tanjungpura kembali beringsut ke Kartapura, kemudian ke Desa Tanjungpura, dan terakhir pindah lagi ke Muliakerta di mana Keraton Muhammad Saunan sekarang berdiri.
B. Perpindahan Ibu Kota Sukadana
Kerajaan Tanjungpura dalam perspektif sejarah disebutkan, bahwa, dari negeri baru kerajaan Tanjungpura berpindah ke Sukadana sehingga disebut Kerajaan Sukadana, kemudian pindah lagi Ke Sungai Matan (sekarang Kec. Simpang Hilir). Dan semasa pemerintahan Sultan Muhammad Zainuddin sekitar tahun 1637 pindah lagi ke Indra Laya sehingga disebut Kerajaan Indralaya. Indra Laya adalah nama dari satu tempat di Sungai Puye anak Sungai Pawan Kecamatan Sandai. Kemudian disebut Kerajaan Kartapura karena pindah lagi ke Karta Pura di desa Tanah Merah, Kec. Nanga Tayap, kemudian baru ke Desa Tanjungpura sekarang (Kecamatan Muara Pawan) dan terakhir pindah lagi ke Muliakarta di Keraton Muhammad Saunan yang ada sekarang yang terakhir sebagai pusat pemerintahan swapraja.Bukti adanya sisa kerajaan ini dapat dilihat dengan adanya makam tua di kota-kota tersebut, yang merupakan saksi bisu sisa kerajaan Tanjungpura dahulu. Untuk memelihara peninggalan ini pemerintah Kabupaten Ketapang telah mengadakan pemugaran dan pemeliharaan di tempat peninggalan kerajaan tersebut. Tujuannya agar genarasi muda dapat mempelajari kejayaan kerajaan tanjungpura di masa lampau.Dalam melacak jejak raja-raja yang pernah memimpin Kerajaan Matan, patut diketahui pula silsilah raja-raja Kerajaan Tanjungpura karena kedua kerajaan ini sebenarnya masih dalam satu rangkaian riwayat panjang. Berhubung terdapat beberapa versi tentang sejarah dan silsilah raja-raja Tanjungpura beserta kerajaan-kerajaan lain yang masih satu rangkaian dengannya, maka berikut ini dipaparkan silsilahnya menurut salah satu versi, yaitu berdasarkan buku Sekilas Menapak Langkah Kerajaan Tanjungpura (2007) suntingan Drs. H. Gusti Mhd. Mulia:

a. Kerajaan Tanjungpura
1. Brawijaya (1454–1472)
2. Bapurung (1472–1487)
3. Panembahan Karang Tanjung (1487–1504)
Pada masa pemerintahan Panembahan Karang Tanjung, pusat Kerajaan Tanjungpura yang semula berada di Negeri Baru dipindahkan ke Sukadana, dengan demikian nama kerajaannya pun berubah menjadi Kerajaan Sukadana.
b. Kerajaan Sukadana
1. Panembahan Karang Tanjung (1487–1504)
2. Gusti Syamsudin atau Pundong Asap atau Panembahan Sang Ratu Agung (1504–1518)
3. Gusti Abdul Wahab atau Panembahan Bendala (1518–1533)
4. Panembahan Pangeran Anom (1526–1533)
5. Panembahan Baroh (1533–1590)
6. Gusti Aliuddin atau Giri Kesuma atau Panembahan Sorgi (1590–1604)
7. Ratu Mas Jaintan (1604?1622)
8. Gusti Kesuma Matan atau Giri Mustika atau Sultan Muhammad Syaifuddin (1622–1665)
Inilah raja terakhir Kerajaan Sukadana sekaligus raja pertama dari Kerajaan Tanjungpura yang memeluk agama Islam.
c. Kerajaan Matan
1. Gusti Jakar Kencana atau Sultan Muhammad Zainuddin (1665–1724)
2. Gusti Kesuma Bandan atau Sultan Muhammad Muazzuddin (1724–1738)
3. Gusti Bendung atau Pangeran Ratu Agung atau Sultan Muhammad Tajuddin (1738–1749)
4. Gusti Kencuran atau Sultan Ahmad Kamaluddin (1749–1762)
5. Gusti Asma atau Sultan Muhammad Jamaluddin (1762–1819)
Gusti Asma adalah raja terakhir Kerajaan Matan dan pada masa pemerintahannya, pusat pemerintahan Kerajaan Matan dialihkan ke Simpang, dan nama kerajaannya pun berganti menjadi Kerajaan Simpang atau Kerajaan Simpang-Matan.
d. Kerajaan Simpang-Matan
1. Gusti Asma atau Sultan Muhammad Jamaluddin (1762–1819)
2. Gusti Mahmud atau Panembahan Anom Suryaningrat (1819–1845)
3. Gusti Muhammad Roem atau Panembahan Anom Kesumaningrat (1845–1889)
4. Gusti Panji atau Panembahan Suryaningrat (1889–1920)
5. Gusti Roem atau Panembahan Gusti Roem (1912–1942)
6. Gusti Mesir atau Panembahan Gusti Mesir (1942–1943)
7. Gusti Ibrahim (1945)
Gusti Mesir menjadi tawanan tentara Jepang yang berhasil merebut wilayah Indonesia dari Belanda pada 1942, karena itulah maka terjadi kekosongan pemerintahan di Kerajaan Simpang. Pada akhir masa pendudukan Jepang di Indonesia, sekira tahun 1945, diangkatlah Gusti Ibrahim, anak lelaki Gusti Mesir, sebagai raja. Namun, karena saat itu usia Gusti Ibrahim baru menginjak 14 tahun maka roda pemerintahan dijalankan oleh keluarga kerajaan yaitu Gusti Mahmud atau Mangkubumi yang memimpin Kerajaan Simpang hingga wafat pada 1952.
e. Kerajaan Kayong-Matan atau Kerajaan Tanjungpura II
1. Gusti Irawan atau Sultan Mangkurat
2. Pangeran Agung
3. Sultan Mangkurat Berputra
4. Panembahan Anom Kesuma Negara atau Muhammad Zainuddin Mursal (1829-1833)
5. Pangeran Muhammad Sabran
6. Gusti Muhammad Saunan
Meski terpecah-pecah menjadi beberapa kerajaan, namun kerajaan-kerajaan turunan Kerajaan Tanjungpura (Kerajaan Sukadana, Kerajaan Simpang-Matan, dan Kerajaan Kayong-Matan atau Kerajaan Tanjungpura II) masih tetap eksis dengan pemerintahannya masing-masing. Silsilah raja-raja yang pernah berkuasa di Kerajaan Matan (dan sebelum berdirinya Kerajaan Matan) di atas adalah salah satu versi yang berhasil diperoleh. Terdapat versi lain yang juga menyebutkan silsilah raja-raja Matan yang diperoleh dari keluarga Kerajaan Matan sendiri dengan menghimpun data dari berbagai sumber (P.J. Veth, 1854; J.U. Lontaan, 1975; H. von Dewall, 1862; J.P.J. Barth, 1896; Silsilah Keluarga Kerajaan Matan-Tanjungpura; Silsilah Raja Melayu dan Bugis; Raja Ali Haji, Tufat al-Nafis; Harun Jelani, 2004; H.J. de Graaf, 2002; Gusti Kamboja, 2004), yakni sebagai berikut:

C. Catatan kaki
1. ^ Gusti Irawan merupakan putra kedua Sultan Muazuddin (Raja Kerajaan Matan) dan adik dari Sultan Muhammad Tajuddin yang melanjutkan tahta Sultan Muazuddin sebagai Raja Matan
2. ^ Panembahan Anom diberhentikan sebagai sultan sejak 1833 karena dianggap tidak loyal kepada Sultan Abdul Jalil Yang Dipertuan Syah Raja Negara Sukadana. Posisi kepemimpinan Kerajaan Kayong kemudian dialihkan kepada kakak Pangeran Anom yaitu Pangeran Cakra Negara yang berkuasa sebagai Panembahan Matan pada periode 1833?1835. Atas campur tangan Belanda, mulai tahun 1835 Pangeran Anom kembali didudukkan menjadi Panembahan Matan hingga tahun 1847.
3. ^ Muhammad Sabran adalah anak dari Panembahan Anom. Ketika diresmikan menjadi sultan dengan Surat Keputusan Gubernemen (Pemerintah Kolonial Hindia Belanda) No. 3 tertanggal 11 Maret 1847, Pangeran Muhammad Sabran masih berusia sangat muda sehingga dibentuklah sebuah presidium yang beranggotakan 5 orang menteri dan diketuai oleh Pangeran Mangkurat untuk menjalankan roda pemerintahan. Muhammad Sabran baru menjabat sebagai Panembahan Matan pada 1856. Pada masa pemerintahan Panembahan Muhammad Sabran, pusat kerajaan berpindah dari Tanjungpura ke Muliakerta, Ketapang, Kalimantan Barat. Panembahan Sabran memerintah hingga tahun 1908. Setahun kemudian, pada 1909, Panembahan Sabran meninggal dunia.
4. ^ Muhammad Saunan merupakan cucu dari Panembahan Sabran yang dinobatkan sebagai pewaris tahta kerajaan karena sang putra mahkota, anak pertama Panembahan Sabran yang bernama Pangeran Ratu Gusti Muhammad Busra, wafat terlebih dulu dari ayahnya. Ketika dilantik sebagai pemimpin kerajaan pada 1909, Gusti Muhammad Saunan (putra pertama Gusti Muhammad Busra) masih belum cukup dewasa, maka kendali pemerintahan dipegang oleh Uti Muchsin Pangeran Laksamana Anom Kesuma Negara (paman Gusti Muhammad Saunan/adik Gusti Muhammad Busra). Gusti Muhammad Saunan resmi menjabat sebagai Panembahan Matan pada 1922 dan meninggal dunia pada era pendudukan Jepang di Indonesia yaitu tahun 1942.
5. ^ Menurut Bustan Arifin Al Salatin, Sejarah Nasional, Sejarah Melayu, Pengaruh Syailendra dan Sriwijaya (850-900)
6. ^ Menurut kronik Cina, Pengaruh Sriwijaya Periode Kerajaan Kalingga (India Selatan)
7. ^ Menurut Sejarah Kalimantan Barat/Cerita Lisan Periode serangan Kerajaan Cola (India Selatan) ke Sriwijaya
8. ^ Taklukan Singhasari, Ekspedisi Pamalayu Periode Singhasari (1222–1293)
9. ^ Taklukan Majapahit, menurut Negarakertagama, menurut Prasasti Waringin Pitu (1447)
10. ^ Kerajaan pindah ke Sukadana, politik ekspansi sampai Tanjung Datuk, Tanjung Putting, Karimata, dan Pulau Tujuh

D. Peninggalan-peninggalan Benda Sejarah

a. Keraton Gusti Muhammand Saunan
b. Meriam Padam Pelita
c. Timbangan Niaga
d. guci-guci
e. Singgasana Kerajaan
f. Kamar Tidur Penembahan Gusti Muhammad Saunan
g. Meriam Peninggalan Portugis
h. Makam Kerajaan Keramat Tujuh
i. Makam Kerajaan Tanjung Pura






Sempat Terjadi Kekosongan Jabatan: Menelusuri Keberadaan Istana Kerajaan di Kalbar (20)

Panembahan Gusti Mesir menjadi korban keganasan Jepang. Estafet kerajaan sempat terhenti. Pasca Jepang kalah perang dunia II, diangkatlah Gusti Ibrahim.
Setelah Gusti Mesir ditawan Jepang, pemerintahan di Kerajaan Simpang sempat lowong, namun tidak berlangsung lama karena putra mahkota Gusti Ibrahim dinobatkan sebagai raja.
Penobatan Gusti Ibrahim sesuai adat kerajaan Ia diangkat melalui musyawarah lima suku yaitu Maya, Mengkalang, Siring, Priyayi, Mambal dan dilengkapi pula dengan keturunan dari Panca.
Pengangkatan Panembahan ini atas perintah dari Tuan Bunkenkanrikan Sukadana yang dilaksanakan pada 1 Kugatau 2605. Oleh karena Gusti Ibrahim baru berusia 14 tahun dan masih sekolah, maka ditunjuklah Gusti Mahmud (Pangeran Ratu) bin Gusti Mansur sebagai Mangkubumi.
Gusti Ibrahim tidak dinobatkan sebagai Sultan Kerajaan Simpang Matan. Namun fakta pengangkatan Gusti Ibrahim sebagai Penembahan dapat dilihat dalam Catatan Hasil Penunjukan Dokoh Kerajaan Simpang sebagai berikut:
‘Pada hari ini Sabtu tanggal 1 Kugatau 2605, saya Mastart Dingang, Simpang Zitiryo Yogikai Gityo, menurut perintah dari paduka Tuan Sukadana Bunkenkanrikan telah membuat rapat Yogikai dengan cepat sehingga tidak sempat dilakukan menurut syarat-syarat peraturan Majelis Kerajaan Simpang.
Berhadir : Gusti Intan, Yogikai Giin. Uti Hamzah, Ketua Komisi. Lim Tek Sun, Lothay. Busu, Syonco Kota.
Menurut adat istiadat penunjukkan Raja-Raja Simpang dilakukan oleh wakil-wakil dari golongan turunan-turunan Siring, Mambal, Mengkalang, Maya, Periyai dan Panca.
Selaku wakil-wakil tersebut berkhadir: Wakil Siring : Adikasuma Manteri Perawat. Wakil Mambal : S a h m i n, Wakil Mengkalang : (tidak ada), Wakil M a y a : Johan Syonco II Penjalaan Hulu. Wakil Priyai : Raden Gondel Syonco Rangkap, dan Wakil Panca : Rasip Syonco II Sungai Padu.
Maka dengan memperhatikan dari turunan yang lurus, telah ditunjukkan sebagai Simpang Syuco : Gusti Ibrahim Bin Gusti Mesir. Dan oleh karena Gusti Ibrahim baru berumur 14 tahun dan masih bersekolah, ditunjukkan juga dia punya Mangku Bumi bernama : Gusti Mahmud Bin Gusti Mansur (Pangeran Ratu)’
Kekosongan jabatan Panembahan Simpang dikarenakan Panembahan Gusti Mesir menjadi korban fasisme Jepang terjadi dari tahun 1943 sanpai 1945. Di akhir kekuasaan Jepang tahun 1945, diangkatlah Gusti Ibrahim sebagai Panembahan Kerajaan Simpang dengan Mangku Bumi Gusti Mahmud. Gusti Mahmud menjalankan pemerintahan sebagai Kepala Swapraja Simpang sampai meninggal dunia tahun 1952.
Setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 27 tahun 1959, semua Swapraja di Kalimantan Barat telah lebur. Pada tanggal 4 Juli 1959, pemerintahan tersebut beralih kepada Pemerintahan Daerah.
Berdasarkan Instruksi Gubernur KDH Provinsi Kalimantan Barat tertanggal 29 Februari 1960 No. 376/Pem-A/1-6 Pemerintahan Swapraja diserahterimakan pada Pemerintah Daerah. Penyerahan itu dilakukan dengan ketentuan, bekas wakil Panembahan Sukadana diperbantukan pada Kantor Wedana Sukadana, anggota-anggota Majelis Swapraja Matan diperbantukan pada Kantor Pemerintah Daerah tingkat II Ketapang.
Selain itu, semua pegawai-pegawai bekas Swapraja dialihkan menjadi Pegawai Daerah Tingkat II Ketapang. Semua inventaris Swapraja menjadi inventaris Pemerintah Daerah Tingkat II Ketapang.
Swapraja Simpang tidak mengalami kesulitan, karena sebelumnya terlebih dahulu menyerahkan kekuasaannya kepada pemerintah daerah Kabupaten Ketapang sedang personilnya diperbantukan pada Kantor Camat Simpang Hilir di Telok Melano.
Menurut Gusti Hujra, Sekretaris Kerajaan Simpang, tidak ada jejak peninggalan berupa istana seperti kerajaan lainnya di Kalbar. “Yang ada hanya makam-makam saja,” kata Hujra seraya menjelaskan Istana Simpang sekarang dijabat oleh Raja, Gusti Muhammad Mulya



Sungai Terentang Cikal Bakal Kerajaan Kubu: Menelusuri Keberadaan Istana Kerajaan di Kalbar (21)

Kalimantan Barat sangat kaya khazanah budaya dan sejarah. Daerah ini memiliki banyak situs peninggalan sejarah yang pantas dilestarikan, terutama situs yang berhubungan dengan kerajaan atau kesultanan.
Walaupun banyak yang sudah tidak menyisakan peninggalan fisik seperti bangunan, namun peninggalan non fisik seperti cerita rakyat tetap ada. Cerita itu memperkaya sejarah Kalbar yang sudah tersebar secara luas di buku-buku maupun dunia maya (internet).
Salah satu situs kerajaan yang sudah tersebar di dunia maya adalah situs tentang Kerajaan Kubu. Kerajaan yang terletak di Kabupaten Kubu Raya tidak bisa dipisahkan dengan sejarah Kesultanan Pontianak.
Kedatangan saudagar dari daerah Hadramaut di Selatan Jazirah Arab yang berjumlah 45 orang merupakan awal kemunculan kerajaan-kerajaan Melayu di Kalbar. Kedatangan mereka mulanya hanya bertujuan untuk berdagang di lautan Timur-jauh (Asia).
Leluhur dan Tuan Besar (Raja) Kerajaan Kubu pertama, yaitu Syarif Idrus Al-Idrus. Ia adalah menantu dari Tuan Besar (Panembahan) Mampawa (Mempawah). Syarif Idrus juga merupakan ipar dari Sultan pertama Kesultanan Pontianak.
Pada awalnya Syarif Idrus membangun perkampungan di dekat muara Sungai Terentang, barat-daya pulau Kalimantan. Lama-kelamaan perkampungan ini menjadi maju dan berkembang.
Keluarga Syarif Idrus Al-Idrus tumbuh menjadi keluarga yang kaya-raya melalui perdagangan yang maju. Mereka membangun hubungan yang terjaga baik dengan Kerajaan Inggris Raya, pada masa pemerintahan Gubernur Jendral Sir Thomas Stanford Raffles (yang membangun Singapura), saat Raffles ditugaskan di Hindia Belanda.
Hubungan ini berlanjut hingga setelah kembalinya Belanda ke Indonesia (Hindia Belanda) dan dirintisnya pembangunan pulau Singapura. Namun hubungan ini tidak disukai Kerajaan Belanda yang secara formal mengendalikan Pulau Kalimantan berdasarkan kontrak perjanjian bangsa-bangsa yang ditetapkan pada tahun 1823

Belum ada Pengangkatan Raja: Menelusuri Keberadaan Istana Kerajaan di Kalbar (22)

Sebagian memilih pindah ke Sarawak. Keluarga Al-Idrus yang bertahan menjadi semakin sengsara. Tuan Besar Kerajaan Kubu diturunkan. Kondisi pun makin parah. Keputusan Belanda telah mengacaukan hubungan baik Kerajaan Kubu dengan Inggris yang akhirnya berbuah petaka. Beberapa keluarga Al-Idrus yang awalnya hidup sejahtera berubah menjadi sengsara.
Beratnya tekanan hidup membuat keluarga Al-Idrus tidak bisa bertahan. Mereka ada yang meninggalkan Kalimantan demi menjauhi sikap buruk Belanda ke daerah Sarawak yang pada waktu itu menjadi daerah territorial Kerajaan Inggris Raya, demi harapan yang lebih baik akan keberhasilan dalam perdagangan.
Sedangkan Keluarga Al-Idrus yang memilih bertahan di Kubu, tetap mendapat perlakuan buruk dari Belanda. Hal ini mengakibatkan mereka semakin sengsara dan membenci Belanda.
Buntut sikap buruk Belanda ini terjadi dengan diturunkannya Syarif Abbas Al-Idrus dari jabatan Tuan Besar Kerajaan Kubu. Belanda tidak sendiri waktu itu. Ia mendapat dukungan sepupu Al-Idrus, Syarif Zainal Al-Idrus ketika terjadi perebutan jabatan Raja pada tahun 1911.
Akhirnya ia justru terbukti menemui kesulitan dalam pemerintahan serta diturunkan dari takhta tanpa memiliki pewaris/pengganti yang jelas, delapan tahun kemudian. Tidak adanya pewaris takhta, baru ditetapkan dan disahkan setelah beberapa tahun kemudian. Sehingga pejabat kerajaan yang ada selama kurun waktu itu hanyalah pelaksana sementara.
Sejumlah sumber yang didapat Equator menuliskan, setelah beberapa lama, akhirnya Syarif Shalih, mendapatkan kehormatan agung dari pemberi wewenang untuk menjabat sebagai Raja. Tetapi kemudian tertahan saat kedatangan tentara Jepang di Mandor, pada tahun 1943.
Dewan kerajaan dan Keluarga Bangsawan tak semudah itu menyetujui pergantian Kerajaan kepada Syarif Shalih. Akhirnya justru Jepang menempatkan putra bungsu Raja terdahulu yaitu Syarif Hasan, sebagai pemimpin Dewan Kerajaan. Akan tetapi belum sempat terjadi karena Jepang terlebih dulu kalah pada PD II dan meninggalkan Indonesia.
Syarif Hasan justru baru menerima pengesahan sebagai Pemimpin Kerajaan (Tuan Besar) Kubu pada tahun 1949, setelah Pemerintah Indonesia terbentuk. Kerajaan Kubu itu sendiri akhirnya berakhir dan menghilang ketika dihapus oleh Pemerintahan Republik Indonesia pada tahun 1958.
Selama beberapa tahun terakhir, semangat pembentukan keraton dan pengangkatan raja kembali digaungkan pemerintah. Namun khusus Kerajaan Kubu, belum ada pengangkatan raja secara resmi.
Belum adanya pengangkatan resmi kerajaan itu diakui sendiri oleh Syarif Ahmad Al-Idrus, tokoh Kerajaan Kubu. “Sampai sekarang belum ada pengangkatan secara resmi,

Rabu, 14 Maret 2012

PROPIL MADRASAH IBTIDAIYAH SWASTA BAITURRAHIM

PROPIL MADRASAH
NAMA MADRASAH                        :     MADRASAH IBTIDAIYAH SWASTA BAITURRAHIM TELUK MELANO
ALAMAT                                             :     JALAN GLORIA RT.06/RW.II DESA MEDAN JAYA
                                                                     KECAMATAN SIMPANG HILIR KAB. KAYONG UTARA PROPINSI KALIMANTAN
                                                                     BARAT, KODE POS 78853
NO. HP                                                :     081345930924
TAHUN PENDIRIAN                        :     2000
NAMA PENDIRIANYA                    :     PANITIA PENDIRI MI SWASTA  TELUK MELANO
NAMA PIMPINAN SEKARANG   :     ABDUL AJIS, A.Ma.Pd       NIP. 19680305 199110 1 002
LEMBAGA PENDIRIAN YANG
DISELENGGARAKAN                      :     MADRASAH IBDAIYAH SWASTA BAITURRAHIM TELUK MELANO

LATAR BELAKANG BERDIRINYA MADRASAH
              Madrsah Ibtidaiyah Swasta “ BAITURRAHIM “ Teluk Melano Kecamatan Simpang Hilir kabupaten Kayong Utara berdirinya sebagai Lembaga Pendidikan Formal Tingkat dasar, berdiri pada tahun 2000, Madrasah ini dirikan oleh masyarakat Desa Teluk melano khususnya oleh Kelompok Yasinan “ IKHWANUL HIKAM “ yang beranggota sebagian besar adalah Para Guru ( guru SD dan Guru SMP.N 1 simpang Hilir) yang beroimisili di Desa Teluk Melano, Madrasah Ibtidaiyah ini diberi nama Madrasah Ibtidaiyah Swasta “BAITURRAHIM “ Teluk Melano, atas saran dan prakarsa Kepala KUA dan Kacab. Dinas Pendidikan Kecamatan simpang Hilir yang berkerja sama dengan Muspika Simpang Hilir Waktu itu dibawah kepimpinan Camat Drs. GURDANI ACHMAD serta mel;ibatkan seluruh komponen masyarakat yang berkompotensi dalam perwujudan Pendidikan Keagamaan di Desa Teluk Melano, sebagai Ibu Kota Kec. Simpang Hilir. Serta beberapa praktisi pendidikan yang sangat antusias dan merepon atas kelahiran satu-satunya sekolah setingkat SD yang bercirikan keagamaan di Kec. Simpang Hilir, yaitu Madrsah Ibtidaiyah Swasta (MIS) “BAITURRAHIM” Teluk Melano. Akhirnya pada tahun itu juga atas pertimbangan Camat Simpang Hilir, serta seluruh jajaran kepengurusan madrasah sepakat menyerahkan: Madrasah Ibtidaiyah Swasta (MIS) “BAITURRAHIM” yang bentuk oleh Penjabat Camat Simpang Hilir pada tanggal 19 Desember 1999. Berdasarkan ususlan Panitia Pendiri dan Pengurus Yayasan Perguruan Islam Silaturrhim Teluk Melano Kepada Kepala Kantor Departemen Agama Kab. Ketapang untuk meninjau kelayakan operasional, maka hasilnya dikeluarkan Piagam Pendirian Madrasah untuk Madrasah Ibtidaiyah Swasta “BAITURRAHIM” Teluk Melano dengan Nomor : D/Wn/016/2000 yang keluar berdasarkan Surat Keputusan Ka. Kandepag Kabupaten Ketapang Nomor : KEP.805A/PP.03.2/2000 tanggal 16 Agustus 2000. Piagam tersebut langsung diserahkan oleh kepala Seksi Perguruan Agama Islam Departemen Agama Kabupaten Ketapang pada tahun itu juga, dan sementara ini piagam pendiri itulah yang dijadikan sebagi landasan Operasional dan sekaligus pengakuan atas pendirian Madrasah Ibtidaiyah Swsata “BAITURRAHIM” Teluk Melano  hingga sekarang.
Melihat perkembangan, Madrasah Ibtidaiyah Swasta “BAITURRAHIM “ cukup dapat bersaing dengan Sekolah Dasar (SD) yang ada di sekitarnya yang hanya berjarak tempuh masing-masing ±800 m ke SDN 03 Simpang Hilir dan ±900 m ke SDN 1 Simpang Hilr. Hal ini terbukti dengan perimbangan penerimaan siswa baru yang terjadi setiap tahunnya sejak tahun pertama beroperasinya Madrasah (Tahun Pelajaran 2000/2001) hingga sekarang. Walaupun demikan, satu kelemahan yang ada hingga saat ini Madrasah Ibtidaiyah Swasta “BAITURRAHIM” Teluk Melano  gedung tersebut didirikan awal tahun 1995, dan sehingga saat sekarang belum ada perbaikan sarana prasarana, sehingga pada saat sekarang kondisi gedung tersebut sangat-sangat dihawatirkan keamanan dan keberadaannya.
Visi,MISI DAN TUJUAN MADRASAH
A.      Visi Madrasah
Dalam pelaksanaan tugas, Madrasah Ibtidaioyah Swasta “BAITURRAHIM” memiliki Visi yaitu membentuk pribadi siswa yang beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT, mampu berprestasi dalam ilmu pengetahuan umum dan agama, memiliki kecakapan hidup dan budaya.
B.      Misi Madrasah
1.      Meningkatkan kemampuan dan kenerja staf mengajar dan pegawai di MIS  Baiturrahim, dengan loyalitas dan dedikasi yang tinggi dalam pelaksanaan tugas dan tanggung jawab pendidikan di Madrasah.
2.      Melaksanakan proses pembelajaran dan bimbingan secara efektif dalam suasana yang harmonis sehingga kemampuan setiap didik dapat berkembanng secara optimal sesuai dengan  yang dimiliki.
3.      Meningkat kedipsinan seluruh warga Madrasah Ibtidaiyah Swasta “ Baiturrahim” sehingga tercipta sikap setiap individu untuk mencintai pekerjaan sesuai dengan bidang tugasnya dan menghargai waktu.
4.      Meningkatkan partisipasi aktif semua warga madrasah dalam mewujudkan program seklah sekolah sesuia dengan tugas masing-masing sehingga dapat berdaya guna dan berhasil guna.
C.      Tujuan Madrasah
1.      Terwujudnya kegiatan proses belajar mengajar yang efektif dalam suasana yang harmonis.
2.      Membentuk generasi yang cerdas, berakhalak mulia, sehat jasmani dan rohani terampil dan berdedikasi.
3.      Tercapai prestasi akademi siswa yang tinggi sesame warga sekolah.